PublicationsThe U4 Blog

Di Indonesia, pembalakan liar tersebar luas di kawasan hutan Indonesia dan menjadi tantangan dalam penegakan hukumnya atas hutan negara. Fenomena ini paling terlihat jelas di Provinsi Riau, yang mengalami penurunan tutupan hutan lebih dari 65% dalam beberapa tahun terakhir. Kian maraknya penebangan liar telah lama dikaitkan dengan jaringan kuat para makelar, pengusaha, dan kepala daerah yang mendulang keuntungan pribadi dari penebangan hutan. Tapi seperti apa persisnya jaringan ini dan siapa yang berpartisipasi di dalamnya? Bagaimana mereka berfungsi, dan kepentingan siapa yang mereka layani? Tak kalah pentingnya, bagaimana memberantasnya? Jawaban pertanyaan ini akan dijelaskan dalam analisis jaringan social (social network analysis) berikut ini.

Social network analysis (SNA/analisis jaringan sosial), turunan dari teori grafik, menawarkan cara baru mendekati dan memvisualisasikan jaringan korupsi. Saya melakukan analisis jaringan menggunakan arsip hukum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait keberhasilannya menjerat Bupati Pelalawan, Riau, atas kejahatan korupsi yang menimbulkan deforestasi. SNA membantu mengidentifikasi aktor utama jaringan dan menggambarkan bagaimana struktur relasimereka yang memungkinkan terjadinya korupsi.

Dalam skema Pelalawan, para pengusaha bubur kertas (selanjutnya disebut “pulp”) membentuk pemasok kayu yang terintegrasi secara vertikal melalui shell companies (perusahaan cangkang) 'independen' fiktif. Jaringan korupsi ini berpusat di sekitar bupati, yang kemudian dipenjara atas tuduhan korupsi), dan tangan kanannya, sang whistle blower (peniup peluit). Kedua tokoh ini berada di jantung jaringan luas aktor pemerintah dan swasta yang memainkan berbagai peran dalam memfasilitasi skema ini dan mengeruk untung dengan tingkatan berbeda-beda. Analisis saya terhadap arsip hasil investigasi menghasilkan total 201 simpul individu (aktor), 92 simpul lembaga atau perusahaan, dan 919 interaksi antara simpul ini selama periode 2000 – 2007.

Saya menemukan struktur jaringan semakin mempertegas peran para pelaku utama, yang menunjukkan mereka memang kebaldengan ancaman penegakan hukum. Impunitas ini mencerminkan peran khusus yang dimainkan dan terus dijalankan pengusaha sektor kehutanan dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Studi kasus Pelalawan menggambarkan bagaimana jaringan korupsi mencerminkan organisasi lebih luas dari kekuatan politik dan ekonomi di satu masyarakat dan sektor tertentu. Menganalisis jaringan korupsi dalam konteks ini adalah langkah awal memahami kekebalannya serta peluang memberantasnya.

Meski analisis SNA pada tulisan ini sebagian besar mengkonfirmasi keputusan penyidik korupsi dalam kasus Pelalawan, analisis ini juga menyoroti isu-isu penting yang perlu dikaji lebih lanjut untuk mengungkap dimensi lengkap dan penerima manfaat utama dari jaringan tersebut. Perluasan cakupan kajian semacam ini juga bisa menjadi dasar penuntutan yang lebih efektif.

Spesifiknya, investigasi korupsi akan memperoleh manfaat dari pemeriksaan lebih menyeluruh terhadap pelaku sektor swasta. Jaringan korupsi kehutanan melibatkan banyak pelaku, yang terorganisasir lewat berbagai kelompok dan masing-masing memperoleh keuntungan berbeda. Aktor pemerintah mengontrol sumber daya utama, tetapi jaringan ini didominasi aktor kehutanan sektor swasta, yang perannya perlu dikaji lebih jernih. Dalam kasus Pelalawan, penyidik sudah tepat menyasar arsitek utama, bupati, dan tangan kanannya. Namun, analisis jaringan sosial menunjukkan pentingnya berbagai aktor pendukung dalam skema ini, termasuk direktur perusahaan pemasok pulp serta pengacara, surveyor tanah, akuntan, dan kalangan profesional lainnya.

Penyidik harus mengikuti aliran uang untuk mengekspos berbagai aktor periferal yang memungkinkan jaringan korupsi bertahan dan berkembang biak. Uang hasil korupsi beredar jauh melampaui penerima manfaatnya, tetapi penyidik jarang mengejarnya dan hanya fokus pada transaksi tingkat pertama atau kedua. Mengikuti aliran uang hasil korupsi sangat penting untuk memperluas pemahaman penyidik tentang aktor pendukung dan penerima manfaat jaringan.

Aktor-aktor ini, banyak dari mereka di sektor swasta, biasanya lolos dari penuntutan. Pembuat kebijakan harus bekerja dengan penyidik korupsi untuk mengembangkan kerangka sanksi terhadap perusahaan di luar penuntutan pidana yang dapat diterapkan pada pelaku sektor swasta. Sanksi tersebut bisa mencakup, misalnya, kecaman publik, penurunan tingkat kategori usaha, pengunduran diri, pembatalan izin operasi, ganti rugi, dan kompensasi.

Terakhir, mengingat manfaat analisis jaringan, lembaga anti-korupsi, penegak hukum, dan donor harus mempertimbangkan memberikan dukungan bagi pembukaan arsip hukum untuk mendorong kolaborasi antara akademisi dan penegak hukum. Kolaborasi bisa melahirkan inovasi baru dalam upaya pemberantasan korupsi, meski harus diingat hasilnya bisa mengalami bias data.